Akasa

Saat ini, mungkin kita masih mengembara. Kicau biru, hangat senja, agaknya mengerti akan tiada suara di sekujur udara. Lelahmu, tangis di dadamu, tak pernah sekalipun membasahi lembah ini. Semata ingin menjagaku agar tetap kokoh, tak terburai oleh tempias hujan.

Engkau begitu baik, walau cemasmu terkadang menjadi senandung yang tak sengaja kudengar di antara mendung. Ingin rasanya kupeluk engkau, dengan serpih harap yang kian mengikis tajam. Namun seringkali, aku takut engkau ikut terbenam, menjejak merah di sudut-sudut kota. Memungut asa entah milik siapa, mungkin mereka yang lebih dahulu terbang ke angkasa.

"Aku rindu pada lautan," ujarmu suatu petang.

Ingin sungguh kuguratkan di pelupuk mata, andai ku bisa. Namun jawabku hanya dekapan, sesunyi semilir jingga itu. Rindumu menetes, membasahi bahuku. Pejamku pun menjelma puisi, gulirnya berjatuhan, seperti gerimis, tabah walau terjatuh, hilang menembus bumi.

Bersabarlah sebentar lagi, malam ini, kita dengarkan cerita lampu kota. Jauh di antara benderangnya, langit takkan menemukan kita. Biar aku yang menyelimutimu saban malam tiba, biar kau sandarkan lelap pada redup cahaya. Senyummu telah cukup menjadi pagi, tak perlu kucari hingga jauh melebihi pandang mata.

Saat ini, mungkin kita masih bertanya.
Nafasku, walau sebentar, semoga menoreh sebaik-baik cerita pada kisahmu.
Kelak, ketika engkau bahagia..
ketika nama dan parasku memudar dari ingatan dan binar mata...

ingatlah...

Mungkin saat itu, aku sedang memandangmu,
Berbisik lewat angin yang menembus celah rusukmu,
lalu mengecup kedua matamu sebelum berpisah.

Mungkin setelah itu aku akan kembali berdiri di sampingmu
Merekam wajah tidur dan dengkur halusmu,
Menyeka pilu dengan jemari gemetar...

Namun..

Mungkin saat itu..
Jika kau tersenyum..
aku bisa menerima hidup yang tak kupilih

Dan kembali berjalan

walau harus sendirian..